Argasoka writing event: Meridians.


#ranahan: bagian ini adalah bentuk partisipasi dalam event Argasoka.

Yaswanta Junius Radeska, berumur 20 tahun yang menetap di Sleman, Yogyakarta. Mahasiswa jurusan Farmasi yang selalu menyempatkan diri mengetik isi pikirannya ini lumayan sukses menarik perhatian banyak orang, khususnya remaja. Ia memutuskan untuk mulai mengetik dan mengirimkannya kepada penerbit, Tuhan merestui, karyanya diterima dan dicetak dengan baik. Terhitung enam buku miliknya terjual laris di pasaran, dengan genre yang berbeda tentunya. Ia sangat bersyukur karena bukunya best seller dalam artian buku tersebut laku terjual pada pedagang lain yang membeli maupun pada penikmat karya ketiknya.

Malam hari ini ia melanjutkan ketikan naskahnya yang belum rampung, naskah tersebut berjudul Meridians. Menceritakan tentang seorang pemuda bernama Janaris Atmadjaya yang ditahan karena tuduhan pembunuhan keluarganya sendiri, Junius meringis saat membaca setengah bagian dari naskahnya, mengasihani tokoh yang dibuatnya sendiri. Jemarinya terus menekan huruf-huruf pada keyboard, bergerak lincah seperti menekan tuts piano. Ia tersentak dengan getaran ponselnya sendiri, ada sebuah pesan yang memberitahukan bahwa praktikum besok ditiadakan, ia tersenyum senang. Matanya menatap jam 23.12 yang tertera pada ponselnya, sudah larut malam. Ia berhasil menambah empat lembar naskahnya, hampir mencapai klimaks karena sang tokoh utama berhasil kabur dari penjara namun malah mengalami kecelakaan tunggal.

Ia berdiri, meregangkan tubuhnya yang terasa pegal akibat duduk beberapa jam. Kakinya melangkah masuk ke kamar mandi yang ada di dalam kamarnya, ia menggosok gigi lalu membasuh wajahnya. Layar laptopnya yang dibiarkan menyala tampak berkedip, sesekali memunculkan glitch sebelum akhirnya sebuah bayangan muncul, membentuk rupa dan tubuh seseorang, seperti hologram yang benar-benar luar biasa. Saat keluar dari kamar mandi, ia mendapati seorang pemuda bersurai hitam menatap sangsi ke arahnya, mencoba memahami situasi sebelum akhirnya bertanya, “Anda siapa?” Sosok itu terdiam cukup lama. “Janaris Atmadjaya,” ucapnya kemudian.

Junius melirik ke arah laptopnya yang masih menampakkan glitch lalu kembali menatap sosok tersebut, ia tak mempercayai penglihatannya. “Jangan bercanda, saya tidak menerima tamu selarut ini. Apa maumu?” Ia berjalan mendekati sosok yang mengaku sebagai Janaris tersebut, mencoba mendorong bahunya. Namun, sangat disayangkan, tangannya menembus begitu saja. Ia mematung, bibir sosok di hadapannya nampak tersenyum. “Saya tidak nyata, Junius. Kamu bisa melihat saya karena saya ada dalam imajinasimu.”

“Lalu apa maumu?” tanya Junius lirih. Nampak begitu nyata, rupa, tubuh, ekspresi yang muncul pada wajahnya, dan suara yang ia dengar saat sosok itu berbicara. Ia terlihat seperti orang bodoh sekarang. “Saya mau hidup saya berakhir dengan bahagia dalam kisah yang kamu ciptakan, itu saja. Saya mohon.”

Junius duduk di hadapan laptopnya, diikuti sosok Janaris yang kini berada di sampingnya. Layar laptop kembali seperti semula, menampakkan lembaran naskah ketiknya. Ia merasa ragu untuk merubah jalan cerita. “Bagaimana jika kisah ini tidak berakhir bahagia?” tanya Junius.

“Maka kisah ini tidak bisa disebut berakhir, selalu ada akhir bahagia di setiap cerita, Junius.”

“Ada banyak cerita dengan akhir menyedihkan, tokoh utamanya mati akibat penyakit atau pengorbanannya, tapi itu bisa disebut akhir yang bahagia karena sang tokoh bisa lepas dari penderitaan dan hidup tenang di atas sana.”

“Kamu mengisahkan saya adalah sosok pemuda yang menjadi narapidana akibat membunuh keluarganya sendiri, kemudian setelah dipenjara berbulan-bulan saya melarikan diri, jari-jari lincahmu bergerak mengetik bahwa saya mengalami kecelakaan tunggal. Jatuh dari atas gedung lapas dengan tujuan sengaja bunuh diri agar lepas dari jeratan hukuman mati yang masih lama sekali.” Junius terdiam mendengarkan, ia belum mengetik bagian yang diucapkan Janaris pada kalimat terakhir, namun memang itulah alur yang ada dalam otaknya.

“Apakah dengan kisah begitu, akhirnya hidup saya akan berakhir bahagia? Kamu tahu jelas bunuh diri adalah dosa besar, mana bisa saya hidup tenang di atas sana jika tubuh saya bermandikan api neraka dalam imajinasi para pembaca.”

Lagi, Junius terdiam. Tak memiliki pilihan lain, ia mengangguk, menyanggupi permintaan sang tokoh utama. “Baik, akan saya buat akhir hidupmu dalam kisah ini bahagia. Tapi tidak mengubah awal ceritanya.” Janaris mendelik, bibirnya sedikit terbuka ingin menyuarakan protes. “Saya penulisnya, saya tahu apa yang sekiranya harus diubah,” ucap Junius mempertegas, ia berdiri, mengambil sebuah cangkir dengan niatan membuat kopi karena malam ini mungkin akan menjadi malam yang panjang.

(n) italic = flashback.

Junius terbangun dari tidurnya saat pintu kamarnya diketuk, terdengar suara anak pemilik kos tempatnya tinggal berucap, “Mas Juni, dicariin sama penerbit. Sudah tak minta tunggu di bawah.” Lalu langkah kaki terdengar menjauh dari depan pintu kamarnya. Junius kemudian membasuh wajahnya dan memakai hoodie hitam miliknya, ia keluar dan bergegas turun ke bawah. Indekos tempatnya tinggal memiliki empat lantai, kamarnya berada di lantai tiga. Ia tersenyum ramah saat bertemu tatap dengan sang penerbit yang nampak sangat gembira.

“Mas Junius, saya bawa kabar baik,” ucapnya. Kedua alis Junius terangkat, merasa tertarik dengan kabar yang akan ia dengar nantinya.

“Naskah Meridians yang mas kirim minggu lalu, saya sempat mempromosikannya di sosial media. Ada ribuan komentar positif dari para pembaca, mereka menantikan cerita tersebut turun ke pasaran. Bukunya sudah dicetak dan banyak yang sudah memesan, tim kami belum pernah mendapati hal seperti ini sebelumnya! Saya bawa bukunya, ini ... silahkan diperiksa. Saya harus kembali ke kantor.” Pria paruh baya di hadapannya nampak begitu sumringah saat menjelaskan pada Junius, tangannya meraih sebuah buku dengan sampul berwarna dominan hitam dan abu, ada setitik warna putih yang nampak di sana, mengibaratkan sebuah cahaya kehidupan. Junius kembali ke kamarnya setelah sang penerbit pamit, ia terus menerus mengusap buku tersebut dengan ibu jari kanannya. Perlahan ia membuka lembaran buku sembari mengingat kejadian luar biasa malam itu, malam di mana ia bertemu langsung dengan tokoh utamanya, Janaris Atmadjaya.

“Mari kita mulai. Janaris Atmadjaya, seorang pemuda yang menjadi narapidana karena tuduhan membunuh orang tuanya sendiri, setelah ditahan berbulan-bulan, ia berhasil keluar dari lapas walau dengan cara melarikan diri. Namun, naas. Kecelakaan tunggal tak bisa ia hindari ... lalu apa?” Junius melirik Janaris yang menatap penuh antusias pada layar laptopnya. Janaris mengangkat bahunya, tanda tidak tahu harus melanjutkan dengan apa.

“Kabur ke hutan lalu jatuh ke jurang, karena kamu adalah napi yang menyebalkan, jadi polisi lebih memilih untuk meninggalkanmu daripada bersusah payah turun ke jurang. Tanpa tahu bahwa kamu masih baik-baik saja di bawah sana, hanya hidung bagian atas, dan bibir bawahmu yang terluka, pipimu lumayan lebam. Tapi tidak apa, kamu baik-baik saja,” ucap Junius dengan jemari yang terus mengetik. Tanpa menyadari bahwa luka-luka yang ia ketik mulai muncul pada wajah Janaris. “Lalu setelah itu, saya bagaimana?” tanya Janaris tanpa memperdulikan perubahan yang terjadi.

“Kamu berdiam diri, menunggu matahari muncul agar langkahmu diterangi. Setelahnya kamu masuk ke dalam sebuah toko kecil, meminjam ponsel untuk menghubungi seseorang yang sangat kamu percayai. Kalian bertemu, seseorang itu membawa sebuah memori kecil dan sebuah tape rekaman yang berisikan video pembunuhan malam itu juga rekaman suara dua orang yang bercengkrama.” Janaris nampak semakin antusias dengan kisahnya yang akan berakhir bahagia.

“Berhari-hari kalian mengumpulkan hal yang akan memperjelas semuanya, sampai akhirnya hari itu tiba. Hari di mana kebenaran terkuak, hari di mana namamu kembali disebut setelah sekian lama. Pembunuhan itu, bukan kamu pelakunya. Melainkan kakak tirimu yang diangkat sebagai anak oleh orang tuamu saat ia berumur 13 tahun, ia memanipulasi segalanya, termasuk bukti bahwa kamu yang melakukan pembunuhan. Melakukannya karena rasa serakah, tujuannya hanya untuk harta. Ialah yang seharusnya ditahan, ialah sosok pembunuh yang sebenarnya.” Jemarinya berhenti bergerak untuk sejenak, mulutnya menguap dengan mata yang terpejam. Ia kembali menegakkan punggungnya.

“Seseorang yang saya percayai ini, siapa namanya?”

“Saya menamai sosoknya ... Austin. Dengan arti nama mulia, ia membantumu memperjuangkan kebenaran. Dan setelah semua permasalahan kisah ini selesai, kamu akan berdiri di balkon rumahmu dengan mata yang menatap lurus ke langit malam, memperhatikan sebuah rasi bintang bernama Auriga. Sinarnya begitu cerah, seperti senyumanmu saat bebas dari jerat masalah.”

Dan kemudian, Junius mengetikkan kata tamat pada ujung lembar naskahnya. Ia menoleh dan menyadari bahwa sosok Janaris semakin memudar, namun senyum menawan nampak muncul pada wajahnya. Junius terdiam menyaksikan hilangnya sosok tokoh utama Meridians di hadapannya. “Terima kasih banyak telah mengabulkan permintaan saya, Junius. Kamu telah berkarya dengan sepenuh hati, semoga suatu saat nanti kamu tidak melupakan jati diri. Janaris Atmadjaya, lembar saya cukup sampai di sini.” Kalimat terakhir yang Junius dengar sebelum akhirnya tenggelam dalam sunyinya malam.

02.35, Junius termangu di hadapan layar laptopnya.

Komentar

Postingan Populer