Manasuka : Rinjani.

#LOOCALISM : 1st Writing Event.
#DRUGNOTES bukan plot.
✦ ·  ·  ·  · ✦:✦ ·  ·  ·  · ✦


Pulau Lombok, Nusa Tenggara Barat.
Kota Mataram, 27 Mei 2020.


Dengan kacamata yang sedikit melorot di wajahnya, Junius berjalan tanpa minat di salah satu koridor Universitas tempatnya menimba ilmu, ia bahkan menyeret tas yang seharusnya ia kenakan di bahu. Langit nampak mendung ditambah suasana hatinya yang sayu membuat niatnya untuk pergi ke halte semakin menipis.

“Kak Juni!” Seseorang berseru memanggil namanya, dapat ia dengar derap kaki terburu-buru berusaha menyesuaikan langkahnya.

Lantas ia menoleh sekilas guna merespon, dapat ia lihat dari sudut matanya seorang gadis mungil dengan kupluk biru yang menutupi rambutnya, Seicaya. Si mungil pembawa sukacita dengan paramasastra¹ yang indah, mungkinkah datangnya kali ini membawa hal gembira untuk Junius yang sedang gundah?

“Aya bawa es krim, kakak mau? Menurut Aya, es krim punya Phenylethylamine², siapa tau kakak bisa senyum setelah makan es krim.” Lalu senyum keduanya merekah pada satu sama lain, Junius yang tersenyum tipis dengan Seicaya yang tersenyum manis. Adik kandungnya ini memang selalu membawa hal positif.

“Oh iya, kakak sudah berkemas? Cuma bawa satu tas besar ini?”

“Iya, Dik. Ini saja sudah cukup kok.”

Dua pasang kaki kemudian tiba di halte sebelah kanan jalan, menunggu sebuah van putih yang akan membawa mereka ke tempat tujuan; Gunung Rinjani.


                       ✦ ·  ·  ·  · ✦


Junius berdecak kesal saat bahunya disenggol dengan sengaja oleh pemuda bernama Antara, sementara si pelaku hanya tersenyum lebar dan berkata, “tersenyumlah, kawan. Kita sedang dalam perjalanan menuju keindahan alam sesungguhnya!”

Sekali lagi, Junius berdecak. “Perasaan saya aneh, Antara. Seperti sakit, tapi biasa saja. Rasanya saya tidak ingin kita pergi ke sana.” Antara terdiam setelahnya.

Van yang mereka tumpangi terus melaju dengan kecepatan sedang, Antara dengan gitarnya yang terus berdendang, Seicaya yang tak hentinya memandang kameranya, dan Pikal yang sibuk dengan sebuah kandang berukuran medium di pangkuannya. “Bawa apa?” tanya Junius padanya.

“Bawa Yadi, peliharaan saya,” jawab Pikal. Junius mengernyit heran, “Yadi?” Pikal mengangguk tegas saat nama peliharaannya dipertanyakan.

Perjalanan yang mereka tempuh menuju Gunung Rinjani kurang lebih 4 jam, Junius bersyukur hujan tidak jadi datang untuk memandikan daratan yang dipijaknya. Ia menatap wilayah sekelilingnya yang penuh pepohonan tinggi dan hanya ada satu jalan di depannya, ia merasa sangat asing. Namun, ia tidak bisa egois dan merusak kesenangan teman-temannya dengan berkata bahwa ia ingin pulang, ia tidak bisa.

“Nurgehe ... Tiang kance empat endeng izin tame ojok Rinjani, nggih. Matur tampiasih ....”³ Junius berucap sembari terus menatap sekitar secara perlahan.

“Jun! Junius! Hei kalian!” Pikal berteriak panik pada ketiga kawannya. Ia menatap horor pada kandang peliharannya yang kini kosong, entah ke mana perginya Yadi si musang kesayangannya itu.

“Kenapa, Kal?!” Ketiganya berlari mendekat ke arah Pikal dengan penasaran.

“Yadi ... Yadi hilang!” Mereka terdiam menatap satu sama lain sebelum akhirnya Antara bersuara. “Kita cari sebentar, kalau masih tidak ketemu ... Maaf, Kal. Kita lanjutkan perjalanan.” Pikal hanya mengangguk pelan.

Dan mereka mulai bergerak dari satu sisi ke sisi lainnya, dari pohon kecil hingga pohon yang besar. Tidak ada tanda apapun yang menunjukkan bahwa musang itu masih ada. Pikal terduduk pasrah, ia menyesal membawa Yadi ke alam bebas. Seicaya menggenggam tangannya, mencoba menenangkan. Hanya seekor peliharaan, tapi sangat berharga bagi Pikal.

“Junius mana?” Antara menoleh ke segala arah, Junius entah berada di mana.

Sempat ia menoleh ke arah sebuah pohon besar, seseorang nampak berdiri di baliknya. Lantas Antara menghampiri pohon tersebut. “Jun?” Antara tersentak saat sosok itu kemudian tenggelam dalam semak.

Bau anyir masuk ke indra penciumannya, ia menoleh ke balik pohon. Pupil matanya melebar, tenggorokannya tercekat. Musang peliharaan Pikal yang hilang kini ada di hadapannya, tanpa nyawa, dengan sebuah pisau yang tertancap pada bagian leher si musang, bangkainya menempel pada pohon yang menjadi saksi bisu seseorang membunuhnya. Sebuah tepukan pada bahunya membuat Antara tersentak dan refleks berbalik. “Sedang apa?” Kemudian Junius muncul dengan wajah penasarannya.


                       ✦ ·  ·  ·  · ✦


Langit tampak gelap, bulan memulai aksinya, bintang menabur keindahannya. Tapi itu semua tak cukup membuat empat sekawan ini merasa tenang, gundah yang Junius rasa sebelumnya semakin bertambah dan kini juga dirasa oleh tiga orang lainnya. Mereka baru saja tiba dan disambut dengan kematian seekor hewan yang jelas-jelas dibunuh, mengingat sebuah pisau tajam menempel pada lehernya, juga kedua kaki belakangnya yang dipotong, juga darah yang menetes dari bangkai musang tersebut. Pikal merasa pening, Yadi mati dibunuh, dan itu hal yang tidak wajar. Pasti ada pelakunya, tapi siapa?

“Setelah waktu fajar tiba, ayo pulang ... Aya tidak mau ada yang terluka,” ucap Seicaya sembari menatap para pemuda di sampingnya. “Iya, kita pulang,” balas Pikal.

Mereka mendirikan tenda kemudian beristirahat di dalamnya, malam hampir larut dan Seicaya masih tenggelam dalam pikirannya, belum tertidur sama sekali. Saat matanya akan terpejam, telinganya menangkap suara langkah kaki bergesekan dengan rerumputan, pelan dan mengerikan. Mencoba berpikir bahwa suara itu milik kedua kaki Antara yang masih berada di luar, namun ia malah mendengar suara Antara berseru, “Jun mau kemana? Istirahat saja, sudah malam ... Jun? Junius, hei!”

Ia mengintip sedikit dari dalam tenda, dapat ia lihat Antara berdiri lalu mengejar punggung seseorang yang nampak persis seperti Junius, Seicaya mengernyit heran lantas menoleh ke sampingnya ... Junius, kakaknya, masih tertidur pulas di dalam tenda tempatnya beristirahat. Punggung Antara hilang dalam gelapnya malam, Seicaya perlahan keluar dari tendanya dan membuka tenda Pikal, pemiliknya juga masih tertidur di dalam sana.

Lalu siapa yang Antara kejar hingga masuk ke dalam kegelapan?

Sebuah kertas yang menancap di sisi tenda milik Antara menarik perhatiannya, ia mengambil kertas tersebut dan membuka lipatannya secara perlahan, kemudian ia memutuskan untuk membangunkan kedua pemuda yang tertidur pulas setelah beberapa jam kemudian Antara belum juga kembali sedangkan pukul 03.00 sudah tiba. Antara pergi dan menghilang.

“Kalau memang Antara mengejar Junius ... Tidak mungkin Junius masih ada di hadapan kita begini,” ucap Pikal dengan telunjuk yang mengarah pada Junius setelah mereka bertiga berkumpul.

“Aya menemukan kertas ini tertancap di dekat tenda Kak Antara tadi.” Seicaya menyodorkan kertas yang dia bawa tadi kepada Junius.

Gunung Rinjani memang indah adanya, sejarah terbentuknya Pulau Lombok ada di dalamnya, datanglah, masuklah ... Untuk mengetahui sejarahnya, akan saya bawa kalian ke masa lampau. Masa lampau berarti masa saat kalian belum ada. Maka dari itu, akan saya buat kalian tiada. -IDLE, LOGR, UPA, SPN, IEG.

“Sosok itu jelas bukan saya. Seicaya saksinya, saya langsung tidur setelah kita bubar tadi.” Junius menatap keduanya dengan yakin. Seicaya membalas dengan tatapan bingung. “Lalu siapa?”

Hening.

Tiba-tiba semak di arah barat mereka berbunyi bising, ketiganya mendekat pada satu sama lain, bersiap diri. Seseorang muncul dari balik kegelapan, tangannya tampak menggenggam tali yang terhubung dengan leher Antara yang kini tidak sadarkan diri. Seicaya dan Pikal tercekat, sementara Junius sendiri tak percaya akan apa yang dilihatnya.

Sosok itu, yang masih terus menyeret raga Antara dengan talinya adalah ia. Sosok itu adalah Junius, namun dalam hal yang berbeda. Junius berdiri, menatap lurus sosok yang tak jauh di depannya itu, ia terdiam saat sosok itu turut menatapnya, lalu sosok itu beralih menatap jam yang ada pada pergelangan tangannya kemudian kembali meluruskan pandangannya pada Junius.

“Tidak banyak waktu yang saya miliki untuk mengambil nyawamu, Junius. Jadi, jangan buat saya menjadi Doppelgänger⁴ yang tidak berguna muncul di dunia.” Sosok itu merunduk, mengambil pisau kecil di balik sepatunya.

Doppelgänger tidak membunuh sosok aslinya,” ucap Junius dengan tegas.

“Tidak membunuh, tapi membawa nasib buruk. Dan nasib burukmu adalah dibunuh.”

Pisau kecil tersebut melayang ke arahnya, walau berakhir dengan meleset dan hanya menggores telinga kirinya. Junius meringis, darah menetes dari telinganya. Terdengar isakan kecil Seicaya dan suara lembut Pikal yang terdengar menenangkannya.

“Lepaskan tali pada leher Antara, urusanmu dengan saya, bukan dengan mereka.” Mendengar hal itu, sosok di hadapannya memotong tali pada leher Antara lalu berlari masuk ke dalam kegelapan.

“Kemasi seluruh barang yang ada, sadarkan Antara, dan pergilah ke arah timur di mana matahari terbit. Saya akan menemui kalian di van nanti.” Setelah berkata demikian, Junius pun berlari menyusul sosoknya dalam kegelapan. Sementara Pikal dengan panik menghampiri Antara, mencoba menyadarkannya sebaik mungkin dengan kedua tangan yang bergetar, juga kedua kaki yang seperti mati rasa. Seicaya sibuk mengemasi barang-barang mereka juga mengambil kameranya, menggenggamnya erat-erat.

Di kegelapan sana, Junius berhadapan dengan sosoknya, ia berhadapan dengan dirinya sendiri, namun dalam sisi yang berbeda. Junius adalah sisi positif dari dirinya, sementara sosok itu adalah sisi negatif dari dalam dirinya. “Pernahkah ayahmu menyebut nama Ravadekos Jagaskara, Junius?” ucap sosok itu, seringai kecil di sudut bibirnya terlihat jelas.

Ravadekos Jagaskara, nama yang sempat ayahnya berikan pada Junius sebelum akhirnya lebih memilih nama Yaswanta Junius Radeska.

“Menurut saya, ayahmu benar. Nama Junius terdengar lebih menyenangkan. Saya ingin mengambil namamu ... Saya ingin mengambil hidupmu.” 

Kedua tangan dari sosok itu menggenggam sebuah gunting emas, mengangkatnya sejajar dengan dada, lalu melangkahkan kakinya secara perlahan. Seringainya melebar namun tak sampai membuat Junius gentar, sosoknya kemudian menerjang Junius secara tiba-tiba. Guntingnya pasti menikam tepat dada sebelah kiri Junius jika saja kayu besar yang dilempar oleh Pikal tidak mengenai tubuhnya dan membuatnya terhuyung. “Kenapa masih di sini?!” Junius menggertak padanya, Pikal mendelik tak suka.

“Mana bisa saya membiarkanmu mati dibunuh oleh dirimu sendiri, bodoh!”

Hati Junius mencelos, ia kembali mengingat beberapa kata acak yang tertera pada kertas yang ditemukan oleh Seicaya tadi. Sementara Pikal sibuk mengalihkan perhatian sosoknya dengan serangan bertubi-tubi, Junius bergerak cepat menuliskan kembali beberapa kata acak tersebut di atas tanah menggunakan jari telunjuknya.

Kata pertama dan kedua.
Dari atas kiri ke bawah lanjut ke kanan.
Begitu urutannya.

IDLE, LOGR, UPA, SPN, IEG.
= ILUSI DOPPELGANGER.

Junius berteriak marah, ia berbalik lalu menarik Pikal menjauh dari sosoknya yang lengah walau tidak terluka sedikitpun. Ia menarik paksa gunting tersebut dari genggaman sosoknya lalu berucap, “Ravadekos Jagaskara, kamu sebut dirimu doppelgänger? Kamu sadar bahwa kamu adalah saya, tapi hanya pantulan. Lantas untuk apa kamu mengambil nyawa saya? Sama saja kamu membunuh dirimu sendiri, bodoh.”

Dengan satu gerakan, Junius menancapkan gunting itu tepat ke jantung sosoknya, sosok Ravadekos Jagaskara yang mata dan mulutnya terbuka lebar. “Tidak membunuh, tapi membawa nasib buruk. Dan nasib burukmu adalah dibunuh.” Pikal merasa seluruh tubuhnya meremang begitu Junius mengulang kalimat yang sama persis seperti kalimat sosoknya yang telah berubah menjadi abu dan menghilang begitu saja.

“Ayo pulang, Pikal. Penelitian kita tentang ekstrak bunga edelweiss ditiadakan. Kita butuh istirahat.”

Sembalun, 28 Mei 2020.
Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat.
Mereka pada Gunung Rinjani, cukup sampai di sini.


✦ ·  ·  ·  · ✦:✦ ·  ·  ·  · ✦


Hak cipta milik #ranahan. Mohon untuk tidak menyamai anak saya yang satu ini.

Kata/kalimat asing:

1. Paramasastra
» Tata bahasa.

2. Phenylethylamine
» Hormon yang mampu meningkatkan suasana baik.

3. Nurgehe ... tiang kance empat endeng izin tame ojok Rinjani, nggih. Matur tampiasih....”
» “Permisi ... Saya berempat meminta izin masuk ke Rinjani, ya. Terima kasih....”

4. Doppelgänger
» penampakan dari wajah seseorang yang masih hidup, biasanya merupakan suatu pantulan. Biasanya kemunculan doppelgänger menjadi pertanda buruk bagi sosok aslinya.

Komentar

Postingan Populer