#NOFEAR; Antebellum.


Mercusuar Ringganariam, penulis asal Jakarta Selatan yang kini tengah singgah di Pulau Dewata (Bali), duduk diam dengan pikiran yang menerawang, pandangannya menggelap sebelum tubuhnya terasa seperti ditarik paksa dengan kuat, tenggelam dalam masa lalu yang kelam.

                      ———————————————————
Suar menatap kosong secangkir teh yang sudah mendingin di hadapannya, matanya beberapa kali mengerjap pelan sebab nyaris bosan, rumah tempatnya menginap masih sepi, Bli Kadek pergi mencari bahan makanan dan tidak mengizinkannya untuk ikut serta. Tubuhnya beranjak, pergerakannya kelewat lambat, jemarinya bergeser menyusuri satu per satu buku yang terjejer rapi di atas rak, urung niatnya mengambil sebuah buku bersampul cokelat tua sebab sebuah dentuman keras dari arah luar ruangan membuatnya tersentak. Spontan ia menoleh lalu bergerak cepat ke asal suara, 'tak ada apapun di sana. Ia menghembuskan napas dengan kasar, menahan umpatan yang hampir terlontar.

Sunyi menyelimuti diri, ia merinding kemudian memutuskan untuk menikmati pemandangan di halaman belakang, ia mendudukan diri di teras, hawa di sekitarnya terasa begitu asing tidak seperti saat pertama kali ia datang. Kepalanya terasa begitu berat, pandangannya menggelap sebelum akhirnya tubuhnya ditarik paksa secara kuat, seperti disedot sampai tak tersisa, tubuhnya mati rasa.


Tenggelam dalam masa lalu yang kelam, ia 'tak paham bagaimana ia bisa berakhir di tempat antah berantah ini. Tangannya bergetar bukan main meski kakinya terus melangkah melintasi jalanan yang dikelilingi rawa dan sawah, entah sudah berapa lama ia berjalan tanpa tujuan, berharap setidaknya ada seseorang yang melihatnya di sini. Langkahnya terhenti di sebuah rumah sederhana di tengah pematang sawah, seorang pemuda muncul dari dalamnya dengan menuntun sepeda zaman dahulu, menyadari ada orang lain di sana, pemuda itu tersenyum ramah dengan kepala yang menunduk pelan sebagai simbol sapaan. Suar bergeming dalam pijakannya membuat sang pemuda mengernyit bingung lalu mendekat padanya dan melambaikan tangan di depan wajahnya, pemuda ini nyata, Suar tersenyum kikuk lalu mengalihkan pandangan.

“Cari siapa di sini, Gek?” tanya pemuda itu padanya, Suar 'tak tahu harus menjawab apa.

Melihat wanita di hadapannya hanya diam, pemuda tersebut berpikir keras. Tiba-tiba ia berucap, “Gek, semakin banyak hal yang berubah, semakin tetap hal itu sama. Kamu ndak bisa ubah sejarah, tapi kamu bisa ubah masa depan.” Suar 'tak paham sama sekali tentang apa yang dibicarakan oleh pemuda asing di hadapannya.

“Temui saya di masa saat kamu hidup dan memiliki kemampuan untuk menampung cerita, tapi bukan di masa saya hidup penuh kewaspadaan.” Belum sempat ia menyuarakan pertanyaan yang ada di kepalanya, telapak tangan pemuda itu menutup matanya, kemudian ia mendengar racauan tidak jelas nyaris terdengar seperti sloka. Ia tersentak dan membuka mata, kini ia kembali ke tempat semula, halaman belakang yang sunyi senyap.

“Astaga Suar ... kok ndak jawab dipanggil dari tadi?” Suara Bli Kadek menghancurkan lamunannya, ia tersenyum tipis lalu menggumamkan kata maaf.

“Mari makan dulu, kan mau ngunjungi orang di Lanus.”

Sorenya mereka tiba di sebuah rumah yang nampak tak asing bagi Suar, seorang pria ringkih keluar sembari menuntun sepeda. Kacamata pada wajah yang berkeriput 'tak membuat Suar lupa siapa sosok itu, ia mempercepat langkah kakinya, mendahului Bli Kadek yang nampak bingung di belakangnya. Suar menyapa pria itu, ia dipersilahkan masuk, senyuman dan tatapan yang sama persis didapatinya. Ia tertegun, merasa tak percaya. Bli Kadek memperkenalkan sosok pria di hadapannya ini dengan nama Yaswanta, saksi hidup ketegangan dua desa akibat masalah politik di tahun 1965.

Yaswanta menceritakan kisah pembantaian anggota dan simpatisan PKI di desa Lanus yang dilakukan di desa tetangga, orang-orang yang berada dalam daftar yang akan dibunuh, dalam istilah Bali disebut dengan ‘jatah’, dikumpulkan di desa tetangga. Para satuan tameng kemudian kembali menuju ke desanya untuk mencari lagi beberapa orang yang menjadi incaran, mereka menggedor rumah-rumah penduduk bahkan mengejar hingga rawa-rawa dan sawah yang mengelilingi desa Lanus. Beberapa warga yang melarikan diri dan bersembunyi hingga selamat di tajamnya semak-semak dan rawa-rawa yang menyengat, Yaswanta berucap, “Liu ne matiange di jalan-jalan, ade masih ne matiange di sema-sema ne peek desa,” (banyak yang dibunuh di jalan-jalan, ada juga yang dibunuh di kuburan-kuburan dekat dengan desa).

Suar mengangguk paham, genggamannya pada ponsel yang sedang merekam suara mengerat. Pada tahun 1965, desa bernama Pakraman menjadi media transit lalu lalang manusia dalam tragedi pembantaian massal sesama manusia Bali. Dari cerita para pejuang tragedi 1965 banyak desa di Bali yang digunakan salah satunya adalah bale banjar (balai desa) sebagai tempat mengumpulkan manusia, mencatatnya, untuk kemudian dikirim dengan truk menuju tempat pembantaian.

Setelah tragedi 1965 ‘hilang tertelan angin’, tersimpan dalam memori personal manusia Bali yang menjadi korbannya, jejak kekerasan yang menyertai perjalanan peradaban Bali hadir silih berganti. Kisah-kisah kelam tersebut seolah menjadi hantu dan bayangan yang mengguncang dan terus menggelayuti kehidupan politik di Bali. Diakui atau tidak, warisan kekerasan masa lalu pasti membekas dan meninggalkan dendam. Suar paham, jelas paham. Otaknya bekerja secara otomatis membayangkan seperti apa pembataian yang terjadi di masa lalu, matanya terpejam cukup lama setelah mendengar kisah yang dialami Yaswanta. Malam hari mereka kembali ke rumah, sepanjang jalan Suar terdiam. Bisakah kisah ini ia angkat ke dalam bukunya? Ia merasa takut untuk mengetikkan setiap detail yang ada di kepalanya.

Komentar

Postingan Populer